Sulitnya Berubah

Dua bulan aku tidak menulis disini, kali ini aku akan menulis tentang sebuah kata yang pasti terjadi di dunia ini: perubahan. Why? Karena aku baru saja mengalami sebuah periatiwa yang membuat hatiku luka. Luka ini menganga cukup lebar dan dalam. Semoga menulis di sini bisa menjadi penyembuh luka ini.

Malam itu badanku masih terasa tidak nyaman karena radang di tenggorokan, dan kami keluar untuk membeli air dan fotokopi buku. Dalam perjalanan pulang, aku ditegur telah memberikan ekspresi yang telah melecehkan pegawai di toko foto kopi. Teguran yang lebih mirip tuduhan untukku itu membuatku kaget, sangat kaget. Karena aku memang tidak sadar sama sekali. Air mata terus menetes sepanjang malam. Aku berpikir ternyata aku bahkan belum bisa mengendalikan ekpresi wajahku sendiri! Padahal aku sudah berjuang untuk merubah sifat-sifatku bawaanku yang kurang baik. Dan ternyata perjuangan itu belum juga selesai. Masih perlu banyak perbaikan di sana sini yang menjadi PR-ku.

Sudah tidak terhitung banyaknya kritikan dan ketidaksukaan pada diriku baik secara pribadi bahkan kolektif. Sampai-sampai aku berfikir, tidak adakah di dunia ini yang bisa menerimaku?? Hanya satu orang sahabat saja yang secara jujur mengatakan bisa merasakan perubahan pada diriku. Selainnya…..aku tidak tahu.  Peristiwa kemarin malam makin membuatku berhati-hati dalam bertutur kata dan tingkah laku. Tidak mungkin semua orang akan memaklumi ketidaksadaranku berekspresi buruk.

Ini tidak mudah, mengingat aku terbiasa lepas dengan ekspresi. Namun ini harus aku lalui, sampai pada titik berhenti yang abadi.

Kebijakan yang Tidak Bijak

Januari 2011 bukan bulan baru yang menyenangkan bagi sebagian besar orang nanti. Karena ada kebijakan baru pemerintah yang tidak bisa dikatakan bijak akan diterapkan kepada rakyatnya yang sedang terhimpit ini. Ya! Para pengguna mobil plat hitam dilarang menggunakan premium. Harus ke pertamax yang harganya saat ini hampir 7 ribu rupiah per liter. Benar-benar mencekik kami di kalangan menengah yang sudah cukup pusing dengan naiknya kebutuhan pokok sehari-hari. Kini kami pun harus mengencangkan ikat pinggang lagi untuk menyisihkan uang bensin.

Aku tinggal di negeri yang seperti apa? Yang pemerintahnya justru membuat susah rakyat. Sedangkan para pejabat semakin buncit dengan pundi-pundi kekayaan yang semakin berlimpah. Negeri ini memang mayoritas dihuni oleh kaum muslim, tapi jauh dari berkah. Sampai saat ini saya tidak habis berpikir, apa lasan pemerintah menetapkan peraturan yang ajaib ini?

Harga bensin di negara lain mungkin jauh lebih mahal, tapi biaya hidup mereka yang lain tidak ikut-ikutan mahal. Sekolah gratis, biaya kesehatan murah (tapi kualitas terjamin), jalan tol gratis, tuna wisma disantuni, biaya listrik dan komunikasi murah, harga buku juga murah, dan yang terpenting, pendapatan perkapitanya jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.

Di Indonesia? Jangan ditanya, semua mahal, sangat mahal. Sampai-sampai ada istilah orang muskin tidak boleh sakit dan tidak bisa pintar saking mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Padahal negeri ini kaya akan potensi alam yang luar biasa. Namun uang hasil penjualan kekayaan alam ini entah menguap ke mana. Negeri ini sudah salah urus!

Rasulullah dan para sahabat sudah memberikan contoh bagaimana sebuah negeri bisa keluar dari krisis. Mereka pun pernah mengalami krisis, dan solusi yang mereka berikan tidak dengan menambah hutang pada negara lain. Pada saat itu, yang ada di rumah para pemimpinnya hanyalah kurma dan air. Para pemimpin mencontohkan keteladanan yang terbaik. Mereka “menyuruh” masyarakatnya untuk berhemat lewat keteladanan. Bukan lewat peraturan yang justru lebih menyengsarakan rakyatnya sendiri.

Mungkinkah akan ada kebijakan potong gaji bagi para pejabat publik, mengurangi biaya perjalanan dinas yang tidak penting, dan MENGHAPUS KORUPSI di semua lini. Jika salah satu cara ini bisa diterapkan dengan konsisten, saya yakin, negara akan memiliki lebih banyak uang untuk ‘diberikan’ kepada rakyatnya. Dimanakah pemimpin seperti ini?

Lima Puluh Persen

Sebuah data yang mencengangkan baru saja dirilis oleh BKKBN tentang perilaku seks di kalangan remaja. Mencengangkan karena ternyata rata-rata lima puluh persen remaja yang disurvey di beberpa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pra nikah. What!! Angka ini meningkat drastis dari tahun ke tahun. kalau perilakunya seperti ini, apa yang ada di otak mereka selama ini hanya yang berbau seks? Bisa jadi. Karena perilaku seseorang sangat ditentukan oleh apa yang ada di otak dan pikirannya.

Menurut saya ada beberapa faktor yang membuat angka ini demikian fantastis. Pertama, kondisi keluarga yang kurang kondusif untuk remaja berbicara secara terbuka tentang apa yang mereka rasakan, terutama keingintahuan mereka soal seks. Kedua, kemudahan informasi yang demikian luas untuk memenuhi rasa penasaran mereka dan membuat hasrat untuk mencobanya pun demikian tinggi. Ketiga, para remaja ini kurang diberikan ‘tugas’ yang membuat pikiran dan fisik mereka cukup sibuk sehingga tidak sempat lagi untuk berpikir hal lain, termasuk soal seks. Karena dari pengamatan pribadi, sekolah-sekolah yang memberikan tugas dan remaja yang ikut kegiatan ekstra kurikuler, cenderung terhindar dari pergaulan bebas. Keluarga yang terbuka juga membuat remaja nyaman secara emosi sehingga mereka tidak mencari kenyamanan di luar rumah.

Sisi lain yang ingin saya soroti adalah peran dakwah sekolah yang selama ini ternyata kurang optimal untuk membendung perilaku yang negatif. Dakwah sekolah selama ini ternyata baru bisa menyentuh mereka yang memang sudah baik. Belum menyentuh mereka yang jauh dari kebaikan. Kalaupun ada, baru bersifat individu, belum masif. Getaran energi positif dari para pelaku dakwah belum menggetarkan hati remaja-remaja yang masih jauh dari Islam. Bisa jadi mereka sholih tapi hanya untuk pribadi, belum menjadi pribadi yang mensholihkan orang lalin. Wallahu’alam

Assalaamu’alaikum….

Welcome to my new homepage. Mari berbagi ilmu dan pengalaman di sini.

melaluiAssalaamu’alaikum…..

Muliakan Istri

Tulisan ini dari islamedia-online, bagus untuk para suami dan istri…..:-)
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar.  Mudah2an Ustadz masih ingat materi “memuliakan istri”, ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah,  istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan hadits/ayat Qur’an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan  khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada  saat wukuf diarafah, disebutkan” …dan berikanlah istrimu makanan dan pakain yang layak,” secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia
Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi ‘memuliakan istri’ itu, memang saya mendengar bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata ‘kenikmatan’ para bapak selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu bisa lihat di pasar dan supermarket di Doha, yang belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?

Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di Doha.

Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak.

Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia, kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja.

Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.

Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.

Sebaliknya, Asma’ binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma’ memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma’ memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu ‘anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang  bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya.

Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’ : 34)

Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.

1. Mazhab al-Hanafi

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.

3. Mazhab As-Syafi’i

Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.

Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.

Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat ‘jatah gaji’ yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.

Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Hidup Nyaman Tanpa Su’uzhzhon

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” (TQS. Al Hujuraat[49]: (12).

Su’uzhzhon sering diterjemahkan dengan ‘berburuk sangka’, dalam terminologi syar’i adalah prasangka atau dugaan yang berujung dengan menyifati orang lain dengan kejelekan dan keburukan tanpa dalil dan bukti (Aafaat “Alath Thariiq, Dr. As Sayyid Muhammad Nuh, I/327). Orang yang su’uzhzhon selalu melihat apapun dengan penglihatan negatif. Pikirannya dipenuhi dengan pikran minor. Sehingga tidak ada sedikitpun kebaikan pada orang lain, dalam pandangannya.

Ketika ada orang lain yang meninggalkan kebajikan, seperti tidak membezoek orang sakit, ta’ziyah orang mati, membantu orang yang membutuhkan dan tidak memenuhi undangan namun semua itu tidak ditunaikan karena udzur syar’i (alasan yang dibenarkan dalam syariat Islam) diluar kehendaknya seperti bepergian, sakit, tidak tahu, atau ada kewajiban yang lebih besar dan lebih prioritas. Maka dalam pandangan orang yang su’uzhzhon bahwa orang tersebut meninggalkan kebajikan-kebajikan diatas karena takabbur (sombong) atau merendahkan orang lain atau sifat bakhil, kikir, dll.

Sebaliknya, jika ada orang yang shalih yang rajin berdakwah, amar ma’rif nahi munkar, berinfak dan bersedekah, serta semangat melakukan kebajikan lainnya. Maka, dalam ‘kaca mata’ pelaku su’uzhzhon, semua kebajikan itu dilakukan karena riya’ (pamer), ingin dipuji, atau ada udang dibalik batu, dsb. Padahal pelaku kebajikan itu menunaikannya karena perintah Allah swt.

Untuk itu ayat di atas hadir ke tengah-tengah kita untuk menterapi berbagai macam fenomena su’uzhzhon yang ada di tengah masyarakat yang membuat hidup tidak tentram dan tidak nyaman.

Ayat di atas dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman, dalam konteks tema ini, maka pemahamannya adalah bahwa berprasangka buruk (su’uzhzhon) bukanlah sifat dan karakter orang yang beriman. Kejujuran keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya akan menjauhkannya dari sifat yang berbahaya ini.

Dalam kajian Imam Ibnu Katsir-rahimahullah-yang dimaksud dengan kebanyakan prasangka yang harus dijauhi oleh seorang mukmin adalah, “Tuhmah (tuduhan) kepada istri atau keluarga, kerabat dan orang lain yang tidak pada tempatnya. Karena sebagian prasangka itu murni sebagai dosa, maka hendaknya ia menjauhi kebanyakan darinya untuk kehati-hatian” (Tafsir Ibnu Katsir IV/487).

Su’uzhzhon yang diharamkan oleh Allah dalam ayat di atas adalah su’uzhzhon terhadap Allah swt, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin yang sudah jelas terlihat keshalihan dan keistiqomahannya. Selain ayat di atas, banyak sekali dalil lain yang menegaskan keharaman su’uzhzhon, diantaranya: QS. AL Fath [48]: 12 dan QS. Yunus [10]: 36.

Rasulullah saw juga melarang hal ini melalui sabdanya,”Jauhilah az Zhan (prasangka). Sebab sesungguhnya prasngka itu ucapan yang paling dusta” (HR. Bukhari VIII/23 dan Muslim IV/1986.

Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut bukan hanya mentarbiyah dhamir dan hati. Melainkan juga mengajarkan prinsip dalam ta’amul (berhubungan) dengan orang lain dengan menghormati hak asasi masyarakat yang hidup dalam komunitas yang bersih. Karenanya tidak boleh seseorang diganjar atas dasar prasangka dan dihukum atas dasar keraguan dan persangkaan. Bahkan, tidak boleh menjadi alasan untuk menyelidikinya. sebab Rasulullah telah bersabda, “Jika engkau perprasangka (kepada seseorang) maka jangan engkau mentahqiq (menyidiknya berdasarkan prasangka itu)” HR. Ath Thabari dalam Al Mu’jam Al Kabir III/228.

Penggalan ayat di atas, “sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” menunjukkan bahwa ada zhan yang tidak dosa. Bahkan para ulama menhukumi wajib su’uzhzhon terhadap orang kafir yang jelas-jelas memproklamirkan permusuhannya kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-oramg mukmin. Demikian pula wajib su’uzhzhon terhadap seorang muslim atau mengaku muslim, namun terang-terangan menantang Allah dengan maksiat dan menghalangi dakwah serta beragam kebaikan. Juga wajib su’uzhzhon terhadap orang-orang yang bisa diperalat orang-orang kafir untuk merealisasikan rencana-rencana jahat dan makar mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Su’uzhzhon terhadap mereka adalah sebagai bentuk warning dan waspada agar tidak meniru perbuatannya serta mengcounter dan mengantisipasi tipu daya dan konspirasi mereka.

Untuk itu seorang muslim apa pun profesinya baik dia pemimpin, karyawan, pengusaha, pedagang, PNS, anggota legislatif maupun pejabat eksekutif, dll tidak boleh menjatuhkan diri dalam hal-hal yang syubhat apalsgi yang jelas-jelas haram agar tidak menjadi obyek su’uzhzhon. Seperti memiliki mobil dan rumah mewah sementara semua orang tahu gaji dari pekerjaannya tidak mungkin dapat membeli mobil atau rumah mewah itu. Bepenampilan borjuis padahal penghasilannya pas-pasan. Atau masuk ke tempat-tempat maksiat yang tidak pantas dimasuki oleh seorang mukmin.

Karenanya, mari kita bersihkan hati  dan keluarga kita dari polusi su’uzhzhon agar hidup ini menjadi nyaman dan tentram dengan mendekatkan mereka pada nilai-nilai Ilahi. (Sumber: Majalah UMMI No. 11/XIX/maret 2008; ditulis oleh Ust. Ahmad Kusyairi Suhail, MA).

 

Calon Istri

Bulan-bulan haji ini ada kebiasaan yang selalu berulang di kalangan masyarakat kita, yaitu menikah. Musim kawin bahasa awamnya. Hampir dipastikan, sebelum dan sesudah lebaran haji, undangan pernikahan akan menumpuk di rumah ataupun di facebook (bagi yang punya).

Sebelum undangan nikah dibuat, pasti ada sebuah proses yang mendahuluinya, yaitu mencari pasangan sesuai kriteria. Setiap orang punya kriteria sendiri yang orang lain memang tidak berhak mencampurinya. Namun belakangan ini, kriteria yang dibuat semakin aneh saja.

Seperti sms yang pernah diterima suami saya, seorang teman minta dicarikan calon istri dengan kriteria sholehah, beserta ciri fisik yang terperinci (putih misalnya). Tapi itu belum seberapa. Ada lagi yang minta istrinya selain berjilbab, putih, juga bisa mengendarai mobil dan motor karena dia malas mengantar istrinya kelak. Lebih aneh lagi kan? Sering saya berdiskusi dengan suami saya sambil tertawa geli, mau cari calon istri atau calon pegawai? Untung saja ngga ada tambahan minimal lulusan mana dan jurusan apa :-).

Pergeseran nilai, itulah yang sedang terjadi. Tren yang sedang berjalan saat ini adalah lelaki yang mencari istri yang juga bekerja dengan pengahsilan lumayan pula. Para lelaki ini mulai ‘malas’ mengemban tugas mencari nafkah sepenuhnya di pundaknya. Dia ingin membagi beban itu pada perempuan yang akan dinikahinya. Kasihan sekali para single saat ini. Apalagi yang belum bekerja. Tapi percayalah, lelaki baik hanya untuk perempuan baik. Percaya itu.

Rahasia Itikaf (part 1)

Rasanya sudah lama tidak menulis di sini. Kali ini selagi ada kesempatan, aku akan menulis tentang ajaibnya Ramadhan. Kawan, sudah sering kita dengar bahwa Rasulullah tidak pernah meninggalkan itikaf seumur hidupnya kecuali saat beliau jatuh sakit. Ada pertanyaan sebenarnya dalam hati yang selama ini belum kutahu jawabannya. Apa yang beliau cari dan beliau rasakan dalam itikaf itu? Pasti sesuatu yang istimewa. Aku sendiri tahun-tahun sebelumnya belum tergerak untuk itikaf dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Terutama tempat karena perempuan harus benar-benar terpisah dari laki-laki dan butuh lingkungan yang aman. Ajakan suami pun tidak terlalu aku tanggapi. Tahun ini, ada target dari organisasi yang harus aku penuhi, jadi suka tidak suka, aku jalani juga, minimal 3 hari. Awalnya agak berat juga, karena belum yakin bisa tahan 3 hari. Tapi, karena dapat tempat yang cukup nyaman, berbenahlah aku untuk persiapan itikaf 3 hari.

Masjid Darussalam Kota Wisata jadi pilihanku, karena kabarnya di At Tin sangat ramai. Akan sulit untukku konsentrasi ibadah. Aku tidak mau pikirkan macam-macam lagi, yang penting aku niatkan untuk itikaf, titik. Malam pertama bareng suami, kami datang ba’da tarawih. Cari tempat, terus tidur, supaya bisa bangun qiyamullail malamnya. Pukul 2 pagi shalat malam dimulai, cukup panjang, tapi bacaan imam yang syahdu membuat kami bertahan untuk sholat terus sampai rakaat ke 8. Kemuadian sahur dan dilanjutkan sholat subuh. Besok paginya, badan pegal, mata ngantuk. Maklum belum terbiasa. Setelah tilawah 1 juz, tidur, begitu sampai 2 atau 3 kali. Ngga tahan….,ngantuk. Untuk mengusir kantuk, aku coba ngobrol dengan seorang ibu yang luar biasa perjuangannya untuk membesarkan putra-putrinya. Hutang dan dagang sana sini sampai mereka semua berhasil. Sampai sekarang pun masih harus bayar cicilan. Aku baru tahu keistimewaan teman itikafku ini.

Malam keduaku, kujalani dengan lebih ringan karena tubuh sudah terbiasa dengan rutinitas yang baru. Malam itu peserta membludak, karena malam ke 27. Sholat malam saat itu kurang lebih dijalani selama 1,5 jam!. Aku hampir pingsan kekurangan oksigen, kipas angin dimatikan karena ada yang kedinginan. Aku hanya mohon pertolongan dan kekuatan dari Allah agar bisa kuikuti sholat malam ini sampai selesai. Dan, aku bisa. Alhamdulillah. Keesokan paginya, yang ajaib, mataku tidak mengantuk sama sekali sampai sore. Aku jadi punya kesempatan untuk tilawah lebih lama dan berbagi pengalaman bersama 2 orang teman baru, Bu Riski dan Teh Nisa. Mereka punya kisah tersendiri yang sangat penuh hikmah bagiku. Aku bersyukur dipertemukan orang-orang seperti mereka di itikaf Ramadhan tahun ini.

Malam ketiga, sholat malam dengan imam yang berbeda dan ‘beban’ yang berbeda juga. Agak lebih ringan. Dan keesokan harinya, aku mulai berpamitan dengan teman-temanku yang luar biasa ini. Ternyata ada banyak hal yang kita temui dalam itikaf  Ramadhan yang sangat dianjurkan Rasul. Allah banyak memberikan pelajaran padaku lewat pengalaman orang lain. Aku jadi merindukan Ramadhan tahun depan datang lagi. Dan baru tahun ini aku menangis sedih berpisah dengan Ramadhan Mubarak. Dan baru kupahami tangis para sahabat yang berpisah dengan Ramadhan…..

PERCAYA

Seorang ibu berkeluh kesah di hadapanku beberapa hari yang lalu. Aku berjanji untuk mau mendengarkan curhatnya kali ini. Karena kami sudah dekat, sang ibu langsung mengutarakan isi hatinya. Kali ini soal suaminya yang tidak mau terlibat dalam urusan keuangan bulanan keluarga. Ternyata, dibalik semua harta yang dia miliki bersama suami, dia hanya diberikan uang belanja yang pas-pasan. Aku coba mengurai masalahnya. Pengeluaran bulanannya untuk kebutuhan primer memang sudah begitu mepet. Belum lagi kalau ada undangan atau kedatangan tamu. Dari anggaran yang ada, si ibu bahkan tidak bisa menabung. Budgetnya untuk beli susu dan baju baru pun tidak tersedia. Dan dia tidak dizinkan mengambil barang dagangannya walaupun hanya 1. Mereka memang punya usaha penjualan baju, tapi dia bahkan tidak bisa menikmati hasil penjualannya sepeser pun karena masih diputar untuk modal. Aku sangat prihatin mendengarnya.

Aku yakin, masalahnya bukan karena tidak adanya uang. Tapi karena belum adanya rasa percaya suami pada istri untuk mengelola keuangannya. Aku coba memberikannya jalan keluar yang paling mudah. Menekan beberapa pos pengeluaran yang cukup besar. Tapi bagaimanapun, masalah ini harus mereka berdua yang menyelasaikannya. kepercayaan memang sangat mahal. Tapi bagiku, buat apa sebuah pernikahan yang rasa saling percayanya tidak 100% mereka miliki? Untuk apa mereka menikah kalau hanya ‘menyiksa’ batin salah satu pihak? Pernikahan itu ada untuk memberikan rasa tentram dan kasih sayang. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan seksual, tapi lebih besar dari itu. Tampaknya hal ini baru disadari hanya sebatas teori oleh sebagian besar pasangan. Rasa aman (sakinah) adalah yang utama. Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik untuk temanku ini. Amin….

Reuni

Bulan ini banyak ajakan dari kawan-kawan lama untuk ketemu alias reuni. Ada yang teman SMA atau kuliah. Mulai dari janjian di tempat makan biasa, sampai yang di mall kelas atas. Semua tergantung kekuatan kocek masing-masing. Banyaknya janjian reunian ini membuktikan sekali lagi bahwa dunia maya tidak cukup sebagai ajang sosialisasi bagi seseorang. Dia tetap butuh dunia nyata. Semua memang bisa dilakukan di dunia maya, belanja, ngobrol, curhatan, sharing, apapun yang kita mau. Tapi satu hal yang tidak bisa diberikan dunia maya: pertemuan fisik. Pertemuan ini lebih penting dari apapun.

Undangan ini pun sempat mampir ke saya, dari teman semasa kuliah. Di sebuah tempat makan yang lumayan menguras kantong di kawasan kampus UI Depok. Sempat tergoda untuk datang, bertemu teman2 lama semasa kuliah, apalagi pada janjian ga bawa anak, wah, benar-benar serasa masih single deh. Komentar pun saling berbalas, dan melihat perkembangannya, saya jadi terpikir untuk undur diri dari reunian itu. Karena ada nuansa lain berkembang di sana, dimulai dari satu orang. Bisa menebak?

Di semua reuni hampir semua akan berusaha menampilkan apa yang telah dia peroleh selama ini. Disengaja atau tidak. Dan saya tidak nyaman dengan suasana itu. Termasuk pertemuan nanti. Perkiraan saya, hampir semua sudah punya BB, bahkan ada yang niat beli baju yang harganya rata2 200rb per piece-nya. Membayangkannya saja sudah tidak nyaman. Apalagi untuk sampai ke rumah makan itu harus naik kendaraan pribadi, paling ‘jelek’ ya ojek. Saya yang tadinya semangat, jadi luntur. Mungkin saya akan datang kalau ada acara yg jelas di sana. Well, untuk semua temanku, happy lunch, I hope all of you enjoy it.

« Older entries